Senin, 12 Maret 2012

Cinta bisu yang bicara


 
Digenggamnya jemari indah itu. Terasa kaku dan dingin. Perasaannya tiba-tiba tak enak. Sepertinya ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

Lembayung di langit sore itu terlihat muram. Awan
yang berarak suram berkejaran di atas sana. Tampak sesosok tubuh pemuda duduk terpaku di depan gundukan tanah warna merah. Wajahnya tampak mendung. Tangannya lembut menaburkan bunga di atas pekuburan itu, kemudian
menyiramnya dengan air bening.

“Semoga engkau tenang di alam sana.” Lirih
suaranya. Nafasnya terdengar berat, sepertinya sesal yang menghimpitnya begitu erat. Sorot matanya menerawang jauh ke angkasa. Gadis tertunduk. Malu. Wajahnya merona. Beberapa detik lalu pemuda pujaannya membisikkan sesuatu yang membuat hatinya melayang.
“Kau cantik sekali hari ini.”
“Ah, benarkah aku cantik? Tapi mengapa dia lebih memilih gadis lain?” Gadis itu terlihat muram. 
Namun hal itu tetap tidak mengurangi keanggunannya. Matanya yang sendu, kulit putihnya yang bersih, hidung bangirnya, bibirnya yang merekah, serta rambutnya yang hitam berkilau, mampu membuat tiap mata yang memandang enggan berpaling.

Gadis melangkah pergi. Kaki kecilnya menuju pada
satu ruang perkuliahan. Hari ini tak ada kuliah. Gadis hanya sendiri di sana. Dia duduk pada salah satu bangku di ruangan itu. Jemari lentiknya lincah memainkan pena di atas kertas.

Tempatkan aku di hatimu
Satu sudut saja dari empat bilik jantungmu
Lalu gamit aku di jiwamu
Dengan penuh kasih selalu

Tempatkan aku di ingatanmu
Satu sel saja dari ribuan sarafmu
Kan kuwarnai harimu
Dengan wangi madu

Duhai tambatan hati . . .
Akankah kau mau mengerti
Suara kalbu yang terus menggema
Sampai sukma ini lepas dari raga

Dibukanya lagi lembar demi lembar buku diary itu. Di sana sudah tertulis ratusan bait puisi yang senada.

Kristal bening dari pelupuk matanya pecah dan
butiran-butiran itu jatuh ke bumi. Pemuda dambaannya datang.

“Kau kenapa?” tanya si pemuda cemas.
“Aku... aku... tidak apa-apa,” jawab gadis itu
gugup.

“Apa kau sakit? Wajahmu pucat,”
Gadis hanya menggeleng.

“Da, kita jadi pergi tidak?”
suara nyaring dari arah pintu itu sedikit membakar api cemburu dalam dada si gadis. Diperhatikannya pemilik suara itu dengan teliti. Rambutnya lurus terurai, matanya begitu bening, dan tubuhnya sangat indah.

“Sorry, Dis, aku pergi dulu ya....”
Pemuda dambaannya melangkah keluar bersama wanita yang baru saja menghampirinya, bunyi dua pasang sepatu itu terdengar buru-buru.

“Tadi siapamu?”
“Kakak ini apa-apaan sich” jawab si pemuda sedikit malu, tapi sang kakak berhasil menangkap kilau pelangi pada bola mata pemuda itu.

“Kamu itu cowok. Tapi sama cewek nyalinya ciut. Udah, ngaku aja... mbok ya kalau suka, ngomong. Kalau menurut Kakak sich dia cocok buat kamu.”
“Tapi, Kak, dia begitu anggun. Cewek seperti itu
pasti sudah punya pacar.”
“Sudah pernah nanya belum? Atau ngeliat dia jalan bareng cowok misalnya?”
Si pemuda menggoyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
“Kamu itu cowok yang qualified untuk dijadikan
pacar. Tampan, pintar, kaya, baik hati lagi. Masih ngerasa kurang apa lagi sich?”

“Aku masih kurang berani, Kak....” Tapi suara itu hanya terucap di hati. Si pemuda tampak rapi hari ini. Celana panjang warna krem
serta kemeja biru magenta membalut tubuh atletisnya.

Wangi parfum maskulin tercium di sekitarnya.
Di kampus biru, seseorang yang dicarinya tak ada. Padahal pemuda itu ingin mengungkapkan segala isi hatinya. Dicarinya gadis tersebut ke kos-kosan.

Tok... tok... tok....
Tak ada jawaban. Sunyi. “Gadis, di mana kau?”
Diketuk lagi pintu itu. Tapi tetap saja hening.
Wanita setengah baya keluar dari rumah sebelah.
“Nyari siapa, Mas?”
“Itu, Bu, gadis yang tinggal di sini.”
“Oh, tadi pagi dia dibawa ke rumah sakit.”
Rumah sakit! Wajah pemuda itu berubah pias. “Gadis, kau
kenapa? Sejak minggu lalu kau terlihat pucat tapi aku tidak berbuat apa-apa. Maafkan aku, Dis....”
“Di rumah sakit mana Gadis dirawat, Bu?”
Setelah mendapat informasi dari wanita itu, si pemuda buru-buru membawa motornya membelah jalan menuju rumah sakit tempat gadis berada.
Di bangsal flamboyan itu tubuh Gadis terbaring lemah.
Wajahnya sewarna kapas. Selang infus menempel pada lengan kirinya. Sedang tangan kanannya menggenggam sebuah buku.
Pemuda itu mendekati si gadis. Digenggamnya
jemari indah itu. Terasa kaku dan dingin. Perasaannya tiba-tiba tak enak. Sepertinya ada sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Dis, bangun! Ini aku....”
Tapi tubuh yang dipanggilnya itu diam. Mungkin gadis tertidur. Dipanggil lagi nama itu lembut. Tetap tak ada reaksi. Ketakutan dan kecemasan kini bercampur menjadi satu, keringat dingin meleleh di badan, jantung pemuda itu berdegup amat kencang.

“Dok... Dokter...!!!” teriak si pemuda.
Dokter pun datang. Diperiksanya tubuh si gadis dengan beberapa alat medis.
Dan beberapa menit kemudian....

“Bagaimana, Dok?”

Dokter itu menggeleng, kemudian berucap, “Kami hanya berusaha. Tabahkan hatimu, Nak!”
Seperti ada petir yang menyambar. Hati pemuda itu teriris, kosong, dan terpukul. Matanya kini terasa panas. Tapi sekuat tenaga dibendungnya agar telaga – bening itu tidak tumpah.
.

Itulah tadi cerita cinta remaja "Cerpen Cinta", yang menurut saya cukup menarik. Termika kasih atas anda yang telah meluangkan waktunya membaca cerita cinta ini. Nantikan update cerita cinta yang lainya yang pastinya lebih seru, artikel ini akan saya update setiap minggunya. Pastikan anda selali berkunjung setiap waktunya untuk mendapatkan update terbaru Cerpen Cinta ini.

Saat Cinta tlah pergi

Nama ku chindy….aku remaja ingusan 19 tahun yang udah ngalamin cobaan2 yang aku rasa berat….singkat cerita nih,ayah aku tu seorang pengusaha sangkar burung yang sukses banget tapi di awal tahun 2006 beliau bangkrut,di khianatin sama teman kerjanya.MIRIS!!! setelah itu,beliau mencoba bangkit dari keterpurukannya dan mencoba tes buat jadi karyawan swasta.dan ternyata lolos.ayahku mulai bekerja menjadi kryawan sebuah kantor swasta dengan gaji yang lumayan banyak lah cukup buat hidup sehari2.tapi….setelah beliau bekerja di sana beliau jadi terlibat perselingkuhan,aku berkata begini karena aku menyaksikannya 

sendiri.singkat cerita juga ibu aku gak terima di perlakukan seperti itu,dan naas nya ibu ku malah membalas dengan perselingkuhan pula.beliau mulai berani jalan dengan teman laki2nya..bahkan aku pernah dengar dia masuk hotel dengan salah satu teman laki2nya.bisa di bayangin betapa hancurnya hati aku??sakitt banget kalo aku gak punya iman mungkin aku udah melakukan hal2 yang menyesatkan.tapi bersyukur aku masih bisa mengontrol diriku.intinya keluarga aku RUSAKKK 

Saat aku mengalami keterpurukan ku yang luar biasa ini seorang laki2 datang menawarkan kasihnya padaku,namanya vincent usianya 2 tahun di atasku.dia begitu sabar terhadapku….dan juga terhadap keluargaku.Kami mulai menjalin hubungan 1 oktober 2009 jam 10:41…aku sangat mengingatnya.betapa bahagianya aku hari itu.Hari berganti hari,tahun berganti tahun tidak terasa hub kami sudah 2 tahun…banyak sekali ujian bagi hubungan kami ini.tapi semua itu mampu kami lewati karna besarya cinta kami.tapi tidak untuk masalah yang kali ini 

Yaaa…. Orang ke-3…sejak vincent pindah tempat kerja dia mulai berbeda.ada seorang cewek yang aku tahu namanya Tisya.awalnya Tisya yang ngejar2 vincent.setahu aku vincent ituorangnya gak mudah tertarik sama cewek tapi ternyata aku salah.suatu ketika aku membuka hape nya vincent ada beberapa sms dari Tisya
Tisya mesagge::Sayang abis ini aku melucur ke kafe tunggu aku ya sayang.lalu aku buka balasan sms vincent ke tisya aku berharap balasan itu tidak ada.tapi ternyata ada.aku buka pelan2… 

Vincent mesagge::Iya sayyanggkuuu aku tunggu ya..muach……Ya Tuhan kaget banget aku.aku tanya pelan2 sama vincent “sayang ini maksudnya apa??kok kamu manggilnya sayang2 sih ke tisya”aku lihat sorot mata gugup dari mata vincent.tapi dia mencoba menjawab setenang mungkin.”ya ampun kok bisa sih padahal aku gak bales sms dia lho sayang..ohh ini pasti ulahnya si Dikko,dia emang usil banget sayang suka baca2 sms aku gitu.beneran deh yank bukan aku yang balesin masa kamu gak percaya sih sama aku?”terpaksa aku mempercayainya.tapi tidak 100%..singkat cerita aku mulai menyelidiki hubungan mereka.dan ternyata memang benar mereka ada hubungan!! 

suatu ketika ada seorang cewe yang ngasih tau aku.kalo vincent sering ngasih cokelat ke tisya kalau tisya marah.padahal kalau aku yang marah vincent malah balik marah ke aku.merasa tidak adil,kenapa harus terjadi yang seperti ini apa kurangnya aku ke vincent.aku gak pernah nuntut macem2 sama vincent tapi kenapa dia bisa tega sama aku.lalu aku mulai add facebook teman2 kerja vincent.aku mau telusuri foto2 mereka dan ternyata banyak sekali foto mesra mereka,di kafe,mall,bahkan di pantai pun ada.bisa kalian bayangin kan gimana rasanya. 

Sabtu sore sepulang kerja aku ajak vincent ke taman buat bicaraain ini baik2.dan akhirnya vincent mengaku kalau memang dia menyayangi tisya,dia cinta sama tisya,dan gak bisa untuk lebih miilih salah satu antara aku/tisya.Vincent nangis dan memohon untuk di beri kesempatan.dia minta waktu untuk dia bisa melupakan Tisya.aku menurut saja karna aku sangat mencintai Vincent.Setiap malam aku berdoa buat hubungan ini.aku minta yang terbaik untuk hubungan aku dan Vincent.Tapi Tuhan menjawab lain.semakin hari vincent malah semakin berani dengan hubungannya bersama Tisya….Aku sering denger dari teman2ku kalau mereka bertemu vincent dan tisya di tempat2 umum berduaan.itu udah menunjukkan betapa beraninya mereka. 

tapi aku juga tidak tahu harus berbuat apa.Vincent tidak mau melepasku tapi aku tersiksa dengan keadaan seperti ini.lalu aku merenungi kejadian ini.semua kembali ke aku.Ayah dan ibuku saling mengkhianati dan berselingkuh…akhirnya anak yang jadi korban.mungkin seperti inilah perasaan suami/istri selingkuhan ayah dan ibuku.aku baru masa pacaran bagaimana dengan mereka yang sudah menikah dan mempunyai anak.betapa sakitnya hati mereka.kalau sudah seperti ini siapa yang harus di salahkan??Tidak ada!!semua terjadi dengan sendirinya.akan selalu begitu.dan saat ini aku memutuskan untuk keluar dari semuanya.lebih mendekatkan diriku pada Tuhan.berharap Tuhan pulihkan hidupku dan juga keluargaku.satu hal yang harus kita pegang HUKUM KARMA MASIH BERLAKU….. 

Brbuat baik pada siapa pun.dan menjaga kesetiaan itu penting.Aku sudah mengalaminya.pedih sekali,sekecil apapun perbuatan kita pasti ada balasannya…Tentang aku dan Vincent kami masih bersama tapi aku bertekad aku pasti keluar dari semua ini.hidup ku tidak hanya untuk menanti kesetiaan seorang playboy.karena aku percaya Tuhan sudah sediakan jodoh terbaik buat aku.ayah dan ibuku masih belum berubah.tetap pada perbuatannya….Tapi suatu saat mereka pasti sadar dan bisa menjadi orang Tua yang terbaik untukku dan adikku.kisahku mungkin sederhana.tapi aku berharap ini bisa menjadi inspirasi untuk orang di sekitarku….untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi…Amin

Kasih sepanjang jalan

Di stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit. Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.
Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar.
Tiga hari yang lalu kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kakc". Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya. Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesalc
Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan.
Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.
Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibu.
Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam, Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.
Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai bekerja untuk membunuh waktu.
Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku.
Ibu..ya betapa kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama inic" bisikku perlahan.
Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua.
Aku sering protes kalau Yuka pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya. Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam gelisah.
Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya. Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa membagi waktu antara kerja dan keluarga.
Melihat anak-anak yang cenderung semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu....
Di luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan tangan.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak sabar aku untuk bertemu ibu.
Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada satu yang berubah, ibu...
Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya, "Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini.